Minggu, 24 Februari 2013
NASIB seniman
drama gong, Wayan Tarma alias Dolar –diambil dari nama tokoh punakawan yang
diperankannya dalam pertunjukan drama dong—tiba-tiba menyedot perhatian publik
Bali. Bermula dari kunjungan Paguyuban Pelawak se-Bali ke kediaman Dolar di
Bangli. Dari kunjungan itu terungkap Dolar sedang mengalami sakit stroke.
Ironisnya, sang pelawak yang di era tahun 1990-an itu mengocok perut masyarakat
Bali, tak mampu membiayai perawatan atas sakitnya. Media pun mengabarkan
kenyataan itu. Tak berselang lama, media jejaring sosial Facebook pun dipenuhi
ungkapan keprihatinan.
Sejumlah kalangan pun menyampaikan kepedulian kepada Dolar.
Ada yang datang langsung ke rumah Dolar sembari memberikan bantuan, ada juga
yang mengumpulkan bantuan di Denpasar untuk biaya perawatan sakit Dolar. Kini,
sang pelawak sudah dirawat di RS Sanglah.
Keprihatinan terhadap nasib seniman tradisional –termasuk
juga modern—di Bali sebetulnya sudah sejak lama mengemuka. Banyak seniman Bali
yang di masa jayanya begitu dielu-elukan tetapi begitu tidak produktif tak banyak
yang menghiraukan. Masa tua mereka tak lagi diwarnai tepuk tangan penonton.
Aneka penghargaan dari pemerintah pun hanya menjadi selembar kertas yang tak
memberi pengaruh apa-apa pada nasib sang seniman. Sang seniman seperti menapak
jalan sepi, sendiri, hingga menuju ke “rumah sejati”.
Jauh sebelum Dolar, tak terbilang kabar seniman tradisional
Bali yang jatuh sakit tetapi tak mampu berobat. Bahkan, tak jarang yang harus
berutang untuk berjuang kembali sehat.
Entah kebetulan atau tidak, pada saat perhatian publik
tersedot pada nasib Dolar yang stroke, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Bali bulan ini tengah membahas perubahan atas Peraturan Daerah (Perda) tentang
Penghargaan Seni. Senin (11/2) lalu, perubahan perda itu memasuki tahap
mendengarkan pandangan umum fraksi.
Menarik menyimak pandangan umum fraksi-fraksi DPRD Bali atas
perubahan perda tersebut, terutama dari Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Benteng
Indonesia Raya, Fraksi Partai Golkar.
F-PDI Perjuangan melalui pembicaranya, Drs. I Made Supartha,
S.H., menyatakan penghargaan seni yang diberikan kepada seniman hendaknya tidak
hanya berkaitan dengan fisik semata. F-PDI Perjuangan memandang penghargaan
seni kepada seniman dapat diperluas menjadi kontribusi nyata dari pemerintah
untuk melindungi seniman secara sosial dan ekonomi.
“Kami mengusulkan agar pemerintah mencari model penghargaan
atau apresiasi kepada seniman yang mengarah kepada pemenuhan kebutuhan termasuk
kelanjutan pendidikan anak-anak mereka. Misalnya, dengan pemberian beasiswa
pendidikan kepada anak pada seniman,” kata Supartha.
Pandangan senada juga dikemukakan Fraksi Benteng Indonesia
Raya. Dalam pandangan umum yang dibacakan I Wayan Tagel Arjana, S.T., Golkar
juga menyatakan penghargaan kepada seniman bisa juga dilakukan dalam bentuk
lain seperti memberikan fasilitas berupa jaminan kesehatan, dan memberikan
ruang kepada seniman untuk beraktivitas dan berekspresi dalam pengabdiannya di
bidang seni atau berupa tunjangan finansial sesuai dengan kemampuan daerah dan
undang-undang yang berlaku.
Sementara Fraksi Partai Golkar meminta agar penghargaan
Dharma Kesuma sebagai penghargaan seni dari Pemprov Bali tidak hanya bersifat
simbol semata. “Tapi, agar terus dipantau kehidupan dan kesejahteraan para
seniman yang mendapat penghargaan Dharma Kesuma, jangan sampai lencana tersebut
terjual untuk membiayai kehidupan sehari-hari seniman tersebut,” kata I Gusti
Lanang Wibiseka, pembaca pandangan umum Fraksi Partai Golkar. (jay)